Kau telah pulang, begitu batinku, Tetapi itu tak berarti berhenti menangis dan terdiam. Butiran bening itu masih juga terus keluar dari sela matamu yang kembali terpejam. Ketika kemudian menggumpal di sudut-sudut kelopak matamu.
Sesekali kamu melihatku, ada takut di sana, ada khawatir membayang di matamu yang memerah. Kemudian kamu peluk aku begitu erat. Melalui pelukan itu kamu seperti mengisyaratkan, “Temani aku, jangan kau tinggalkan aku.”
Dalam rapat dekapku, semoga pun kamu tahu, bisikku dalam diam, “Tak akan kupergi, aku kan menunggumu di sini, menanti meski hanya sekadar menemanimu, sekadar itu.”
Lelah dengan semua yang terjadi. Perlahan-lahan kamu rebahkan kepalamu di pangkuanku dan terpejam. bukan tertidur karena butiran-butiran bening itu masih juga keluar, menggumpal lagi. Inilah masa ketika kamu mengumpulkan kembali serpihan-serpihan yang terserak, kiraku.
Sedikit demi sedikit dikumpulkan dan dibentuk lagi, Biarlah....
Biarlah derai air mata itu tetap jatuh, jangan kau tahan.
Puaskanlah tangismu, bila dengan itu kamu merepih menjadi serpihan untuk kemudian terkumpul lagi. Seperti percikan air terjun yang kemudian berkumpul menjadi anak sungai menuju samudera. Mungkin dunia tak akan pernah mengerti, bahkan tak juga aku akan apa yang kau rasakan. Abaikan saja mereka yang kembali bercakap-cakap dan tak juga hirau pada apa yang kau rasakan. Sedangkan aku menemanimu, sekadar menyeka air mata yang menodai pauh pipimu.
Gerimis masih juga turun di luar, tak hirau pada kita. Pada kamu yang membuat gerimis sendiri dengan air matamu. Pada aku yang tak berdaya kecuali hanya menyeka dan menemanimu. Pada kita yang sebentar lalu karena air mata terpisah. Apakah arti semua ini ... ? apakah yang menjadikan terlukanya hatimu...?
No comments:
Post a Comment